Kronologi Perang Dagang AS–China
Hubungan dagang Amerika Serikat dan China telah lama memanas sejak Presiden Trump pertama kali mengenakan tarif tinggi pada puluhan hingga ratusan miliar dolar barang impor dari China pada 2018. Sebagai balasan, China juga menaikkan tarif impor dari AS, sehingga sejak 2021–2022 kedua negara kerap terlibat saling balas tarif yang terus meningkat. Kesepakatan dagang 2020 sempat meredakan ketegangan, namun konflik meningkat lagi setelah Trump kembali menjabat pada 2025. Menurut laporan Reuters, pada April 2025 tarif impor AS atas produk China dinaikkan hingga 145%, sedangkan China menaikkan tarifnya hingga 125% bagi barang AS. Tarif timbal balik melebihi 100%, mengganggu rantai pasokan global dan meningkatkan kekhawatiran perlambatan ekonomi dunia.
Sikap Trump dan Pemerintah AS
Trump menegaskan tidak akan mencabut tarif 145% tanpa negosiasi langsung dengan Presiden Xi. Ketika di tanya apakah bersedia menurunkan tarif untuk menarik China ke meja perundingan, Trump dengan tegas menjawab, “Tidak.” Ia menekankan bahwa sebelum perang dagang, AS “rugi triliunan dolar per tahun” terhadap China, sementara dengan tarif saat ini, “kita tidak rugi apa-apa.” Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, mendukung pandangan ini, menyatakan bahwa tarif 145% untuk AS dan 125% untuk China tidak berkelanjutan, tetapi AS tidak akan menurunkan tarif secara sepihak. Gedung Putih juga menegaskan komitmen untuk mencapai “deal yang adil” bagi AS dalam setiap perundingan. Meskipun ada sinyal kompromi, seperti pengecualian tarif untuk barang bayi, posisi pemerintah tetap tegas: tarif tidak akan di cabut tanpa konsesi substansial dari China.
Baca Juga : Trump Usulkan Tarif Gantikan Pajak Penghasilan, Ekonom Meragukan
Reaksi China dan Langkah Diplomatik
Respons resmi Beijing beragam: secara resmi, China tetap membuka pintu perundingan namun dengan syarat yang tegas. Kementerian Perdagangan China menyatakan pihaknya sedang “mengevaluasi” tawaran Amerika untuk bicara soal tarif, namun memperingatkan agar AS tidak menggunakan negosiasi sebagai kedok pemaksaan. China menegaskan perang dagang dimulai oleh AS, mendesak Washington hentikan tekanan ekstrim untuk dialog. China meminta AS hentikan ancaman dalam perang dagang, menegaskan belum ada pembicaraan tarif dengan Trump.
Secara paralel, kedua pemerintah menyiapkan langkah diplomatik. AS mengirim tim perunding (Scott Bessent dan Wakil Perwakilan Dagang Jamieson Greer) untuk bertemu pejabat ekonomi China di Swiss pada pertengahan Mei 2025 sebagai langkah awal negosiasi. China menunjuk Wakil PM He Lifeng untuk pertemuan tanpa konsesi awal dari AS, langkah diplomatik berani. Selain itu, Trump menunjuk mantan senator David Perdue sebagai duta besar AS untuk China, dengan harapan kanal diplomasi baru bisa terjalin. Kedua pihak sepakat perubahan kebijakan harus saling menguntungkan, namun AS dianggap enggan memenuhi syarat ini.
Dampak terhadap Perdagangan, Pasar, Mata Uang, dan Komoditas
Keputusan tarif 145% AS dan balasan 125% China sudah mulai menimbulkan gejolak ekonomi global. Volume perdagangan antar-AS dan China praktis anjlok; analis mengatakan jika tarif di pertahankan di atas sekitar 35%, perdagangan bilateral “nyaris tak mungkin” karena margin keuntungan eksportir musnah. Sebagai gambaran, perusahaan pelayaran Hapag-Lloyd melaporkan 30% pengiriman dari China ke AS di batalkan usai kenaikan tarif tersebut. Rantai pasokan global terguncang (upended supply chains), lembaga keuangan prihatin akan perlambatan tajam pertumbuhan dunia.
Pasar saham sangat bergejolak. Saham AS sempat anjlok saat tarif tinggi di umumkan, lalu reli tipis kembali saat harapan pembicaraan muncul. Misalnya, S&P 500 sempat turun lebih dari 3% namun kemudian menutup kenaikan setelah kabar tawaran perundingan. Jajak pendapat menunjukkan tarif AS menekan pasar saham, merusak kepercayaan bisnis, dan meningkatkan risiko resesi global. Kepercayaan investor bahkan meluas hingga aset aman: poling sama melaporkan investor bergeser ke safe haven dan meragukan reli dolar AS.
Melemahnya Mata Uang China
Mata uang China (yuan) melemah drastis. Pada 9 April 2025, yuan onshore di tutup pada level terlemah sejak 2007 (sekitar 7,35 yuan per dolar) setelah keputusan tarif AS berlaku. Pihak berwenang China lalu campur tangan, menjual dolar untuk menahan pelemahan yuan yang tajam. Analis ekonomi Capital Economics memperingatkan bahwa jika tarif tinggi terus berlaku, ekspor China ke AS bisa terpangkas lebih dari separuh, yang akan mengikis pertumbuhan ekonomi China sebesar sekitar 1–1,5%. Mata uang pasar berkembang melemah terhadap dolar, sementara yen Jepang menguat sebagai safe haven di tengah ketidakpastian.
Pasar komoditas bergerak variatif. Harga minyak dunia sempat turun akibat kekhawatiran permintaan melemah, namun kemudian melonjak tipis karena optimisme atas pembicaraan dagang AS-China. Menurut Reuters, “optimisme di sekitar pembicaraan AS-China mendukung rebound pasar minyak yang sebelumnya oversold”. Ketidakpastian ekonomi menekan konsumsi energi, suku bunga tetap tinggi, dolar menguat, dan harga komoditas tertekan. Komoditas industri lain pun melihat tren serupa. Misalnya bijih besi – komoditas yang paling bergantung pada permintaan China – relatif tahan banting. Harga kontraknya justru naik sejak awal Mei 2025 sekitar 3% hingga menyentuh ~$99/ton, meski volume impor China sedikit turun akibat faktor cuaca dan pasokan terbatas. Fluktuasi harga komoditas lebih dipengaruhi faktor pasar daripada tarif itu sendiri, menambah tekanan ekonomi.
Analisis Risiko dan Proyeksi Diplomatik
Para analis dan ekonom memperingatkan konsekuensi serius jika ketegangan dagang ini berlanjut. Sebuah jajak pendapat Reuters (April 2025) menunjukkan 92% ekonom menilai tarif luas AS berdampak negatif pada sentimen bisnis dan menambah risiko resesi global. IMF juga memperingatkan tarif tinggi akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia dan meningkatkan beban utang pemerintah. Secara tegas, Bessent menggambarkan situasi ini setara dengan embargo, sementara Jake Colvin (National Foreign Trade Council) menyebut kondisi tarif sekarang “tak dapat di tanggung” dan akan merugikan kedua perekonomian jika bertahan lama.
Melihat kondisi ini, pertemuan diplomatik mendatang menjadi ujian penting. Pada 10 Mei 2025, Bessent di jadwalkan bertemu pejabat ekonomi China di Swiss sebagai langkah awal meredakan konflik. Negosiasi terhambat karena AS enggan menurunkan tarif 145% tanpa konsesi timbal balik dari China. Trump bahkan sempat menyatakan target penyelesaian dalam 3–4 minggu, meski skeptisisme tumbuh karena tidak ada jaminan Xi Jinping mau bertemu tanpa imbalan besar. Para ahli memproyeksikan bahwa kesepakatan, bila ada, akan melalui negosiasi panjang berlapis. Pertemuan Swiss di yakini akan fokus awal de-eskalasi dan penurunan beberapa beban tarif, namun konsesi substansial – khususnya dari pihak AS – kemungkinan perlu diupayakan lebih lanjut.
Secara keseluruhan, kebijakan tarif 145% yang di pertahankan Trump menciptakan ketidakpastian besar bagi pasar global dan ekonomi dunia. Risiko perlambatan pertumbuhan terus menghantui jika kebuntuan berlanjut, sementara harapan diplomatik terletak pada pertemuan-pertemuan mendatang yang akan menentukan apakah kedua negara dapat meredam konflik ini melalui kompromi atau justru semakin menjauh.
Sumber: Laporan media Reuters, Bloomberg, dan South China Morning Post tentang perang dagang AS-China dan pernyataan resmi para pemimpin terkait.