Mengapa Emas Naik, Tapi Bitcoin Justru Stagnan? Simak Penjelasannya

Tarif Trump Dorong Harga Emas Indonesia Melonjak ke Rp1,83 Juta

Di tengah gejolak ekonomi global, harga emas terus mencetak rekor tertinggi, sementara Bitcoin justru bergerak datar dalam tren konsolidasi. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar di kalangan investor: mengapa aset safe haven klasik melonjak, sedangkan “emas digital” justru kehilangan momentum?

Saat ini, harga emas telah melonjak hingga Rp1.975.000 per gram—naik sekitar 31%—sementara Bitcoin bertahan di kisaran US$83.916, jauh di bawah puncaknya di awal tahun sebesar US$109.114. Bahkan, secara year to date (YTD), Bitcoin tercatat turun 9%.

Kenaikan harga emas didorong oleh meningkatnya ketidakpastian global akibat kebijakan tarif impor AS di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump. Ketika ketegangan dagang meningkat, investor kembali memilih emas sebagai aset pelindung nilai utama. Lonjakan ini juga tercermin dalam kinerja ETF berbasis emas seperti IAU, GLD, dan OUNZ yang masing-masing naik lebih dari 3%.

Sebaliknya, Bitcoin justru menunjukkan pergerakan yang lambat. Meski sering disebut sebagai “emas digital”, BTC masih sangat terpengaruh oleh sentimen risiko makroekonomi, termasuk kekhawatiran atas kebijakan moneter dan ketegangan geopolitik.

Para analis memprediksi bahwa jika inflasi AS bertahan di atas 5%, harga emas berpotensi mencapai Rp2,1 juta per gram. Sementara Bitcoin, agar dapat membalikkan tren, perlu menembus resistance penting di kisaran Rp1,5 miliar.

Kondisi ini menegaskan bahwa meskipun keduanya dianggap aset lindung nilai, karakteristik pergerakan emas dan Bitcoin tetap berbeda, terutama dalam merespons tekanan global yang berubah cepat.