Investor Kaya Tinggalkan Dolar AS: Beralih ke Kripto, Emas, dan Saham China

Konglomerat Alihkan Aset ke Kripto, Emas & Saham China

Ilustrasi: Pergeseran portofolio kekayaan dari aset dolar AS menuju emas, kripto, dan saham China. Logo UBS dan bendera Tiongkok menjadi latar, melambangkan langkah investor kaya mengurangi eksposur terhadap dolar AS. Gelombang pergeseran investasi tengah melanda kalangan ultra-kaya. Banyak nasabah kaya mulai meninggalkan aset berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS) dan mengincar alternatif seperti emas, mata uang kripto, dan pasar saham China. UBS pertama kali menyoroti tren ini dan mencerminkan kekhawatiran yang kian meningkat terhadap prospek aset berbasis dolar. Para jutawan tidak lagi menaruh semua telur di keranjang dolar; sebaliknya, mereka memburu peluang di luar AS untuk melindungi dan mengembangkan kekayaan mereka. Fenomena ini bukan sekadar anekdot—ia di dukung data nyata dan pandangan para pakar, menunjukkan pergeseran strategi investasi yang dapat berdampak luas pada dominasi dolar dan stabilitas pasar global.

Dari Aset Dolar ke Emas, Kripto, dan Saham China: Pergeseran Portofolio Nasabah UBS

UBS, bank swasta global terkemuka, melaporkan perubahan preferensi investasi yang mencolok di kalangan klien tajirnya, khususnya di Asia. Amy Lo, Co-Head UBS Wealth Management untuk Asia-Pasifik, mengungkapkan bahwa klien kaya kini semakin menjauh dari aset dolar AS dan beralih ke emas, kripto, dan (saham) China. Langkah ini mencerminkan menurunnya selera terhadap investasi berbasis dolar dan meningkatnya minat pada aset alternatif. Emas menjadi primadona baru – Lo menyebut “emas sekarang sangat populer” di antara investor elit. Maklum, logam mulia ini merupakan safe haven klasik, dan lonjakan harga emas ke rekor tertinggi baru-baru ini seolah mengkonfirmasi daya tariknya di tengah gejolak ekonomi.

Di saat yang sama, mata uang kripto seperti Bitcoin kian di anggap sebagai emas digital yang layak di koleksi. Dulu aset kripto mungkin dipandang spekulatif, namun kini banyak konglomerat mengalokasikan sebagian kekayaan ke sana sebagai lindung nilai inovatif. Investor terkaya Asia kini menempatkan lebih dari 15% kekayaan mereka di kripto dan emas, menandai peralihan besar dari dominasi investasi dolar tradisional. Kepercayaan terhadap Bitcoin sebagai aset reliabel meningkat, sejajar dengan status emas yang meroket saat krisis finansial 2008. Saham China kembali diminati karena sektor inovasi tumbuh pesat, menunjukkan peluang besar tak hanya ada di negara Barat.

Ketegangan Geopolitik & Perang Dagang AS-China Memicu Volatilitas dan Diversifikasi

Pergeseran portofolio tersebut tak lepas dari konteks ketegangan geopolitik, terutama konflik dagang antara AS dan China. Eskalasi perang dagang – misalnya ketika pemerintahan Trump menerapkan tarif tinggi dan Beijing membalas dengan tarif serupa – mengguncang kepercayaan investor. Tarif impor yang saling melambung menciptakan kekhawatiran perlambatan ekonomi global, yang pada gilirannya mendongkrak permintaan aset aman seperti emas. Harga emas meroket sekitar 25% sejak awal tahun dalam periode ketidakpastian ini, menegaskan fungsinya sebagai pelindung nilai saat situasi memanas.

Selain emas, volatilitas pasar yang di picu tensi geopolitik juga mendorong investor mencari penyeimbang risiko di luar aset tradisional. Ketegangan AS-China yang terus membara membuat investor mulai di versifikasi dari portofolio yang tadinya “sangat berpusat di AS”. Mereka tak lagi merasa nyaman bertumpu pada satu mata uang atau negara. Oleh karena itu, muncullah pergeseran ke mata uang alternatif dan aset lintas negara. Permintaan terhadap komoditas, aset digital, dan instrumen di pasar negara berkembang meningkat sebagai upaya meredam guncangan satu kawasan.

Bahkan ketika kabar gencatan senjata tarif sementara muncul, pasar bergejolak: indeks saham Hong Kong melonjak di tengah harapan pemulihan hubungan, sedangkan dolar AS sempat menguat pasca optimisme negosiasi. Namun, para investor paham euforia semacam itu bisa singkat. Menurut Lo, volatilitas ini “pasti akan terus berlanjut” dalam kondisi global yang penuh ketidakpastian. Dengan kata lain, gejolak geopolitik telah menjadi “kenormalan baru”, dan di versifikasi merupakan respon logis para pemilik modal besar agar portofolio mereka lebih tahan banting.

Strategi Diversifikasi Investor Elit dan Dampaknya terhadap Dolar AS

Para investor elit merespons situasi tersebut dengan merombak strategi pengelolaan kekayaan mereka. Fokusnya bergeser dari sekadar mengejar imbal hasil tertinggi menjadi memastikan risiko tersebar. Christina Au-Yeung, kepala layanan investasi Morgan Stanley Private Wealth Asia, merekomendasikan alokasi portofolio 40% pada pendapatan tetap, 40% saham, 15% aset alternatif (termasuk emas dan kripto), dengan sisanya kas. Pendekatan 40-40-15 ini mencerminkan kesadaran baru: bahwa portofolio yang dulunya berat ke saham AS perlu di imbangi dengan obligasi, aset global lain, dan instrumen non-tradisional. Morgan Stanley mengamati klien mereka kini lebih sadar risiko dan disiplin mengelola volatilitas di banding sebelumnya. Alih-alih bertaruh besar pada satu pasar, kaum kaya membangun “risk budget” yang jelas untuk tiap bagian investasi mereka, sehingga goncangan di satu sektor tak meruntuhkan seluruh kekayaan.

Secara global, fenomena ini sejalan dengan tren de-dollarization. Porsi dolar dalam cadangan devisa global telah turun menjadi sekitar 57% (dari ~70% dua dekade lalu), seiring banyak negara dan investor yang mengurangi ketergantungan pada greenback dengan diversifikasi ke emas, yuan Tiongkok, maupun Bitcoin. Pengalihan investasi oleh para konglomerat ini pun dapat mempercepat erosi dominasi dolar tersebut secara perlahan.

Dampaknya terhadap stabilitas pasar global bersifat dua arah. Di satu sisi, di versifikasi membuat kekayaan para investor besar lebih tahan terhadap gejolak lokal, sehingga shock regional (misal krisis di AS) tidak langsung menjalar parah ke portofolio mereka. Di sisi lain, pergeseran aliran modal besar-besaran berpotensi mengguncang pasar keuangan: jika terlalu banyak dana keluar dari aset Amerika dalam waktu singkat, pasar saham dan obligasi AS bisa tertekan, sementara pasar negara tujuan bisa overheating. Bank sentral di Asia turut mengambil langkah serupa: menambah porsi emas dan mengurangi aset dolar. Langkah para investor elit sejalan dengan kebijakan tersebut, mencerminkan upaya kolektif mengurangi risiko sistemik akibat ketergantungan pada dolar.

Baca Juga : China Bidik Kemandirian AI untuk Saingi Dominasi Teknologi AS

Ulasan Amy Lo: Mengapa Aset Dolar AS Mulai Di tinggalkan

Pernyataan Amy Lo memberikan konteks langsung atas tren migrasi aset ini. Sebagai bankir berpengalaman selama hampir 30 tahun di UBS, Lo menyaksikan perubahan sikap nasabah kaya terhadap aset Amerika. Ia menjelaskan bahwa gejolak hubungan AS-China menjadi salah satu pemicu utama: konflik perdagangan dan persaingan geopolitik telah menyadarkan investor bahwa alokasi mereka selama ini “cukup berpusat di Amerika” dan perlu di tinjau ulang. Lo mencatat para klien secara proaktif bertanya, “apa peluang investasi di China?” ketika tensi mereda sejenak. Pernyataan ini menunjukkan adanya sense of urgency di kalangan konglomerat untuk tidak ketinggalan momen kebangkitan pasar Asia.

Selain itu, Lo menekankan lagi tren kembalinya aset klasik: emas. Dalam wawancara dengan Bloomberg, ia menyebut bahwa emas kini berada di puncak popularitas di antara investor kaya. Hal ini selaras dengan data bahwa gold rush terjadi seiring meningkatnya ketidakpastian global – misalnya lonjakan pembelian emas oleh bank sentral mencapai 1.136 ton pada 2022, tertinggi sepanjang sejarah. Lo juga menggarisbawahi lonjakan minat terhadap aset kripto, komoditas, dan aset alternatif lainnya sebagai sarana di versifikasi mata uang. Intinya, dalam pandangan Amy Lo, para taipan mencari perlindungan dan pertumbuhan di luar aset dolar karena merasa “cuaca buruk” dalam ekonomi global akan berlangsung lama. Volatilitas akan tetap ada, ujarnya – sehingga nasabah mesti bersiap dengan portofolio yang lebih luwes dan tersebar.

Tren Serupa di JPMorgan, Goldman Sachs, dan Institusi Global Lainnya

Menariknya, apa yang di amati UBS bukan anomali tersendiri. Lembaga keuangan besar dunia juga melaporkan pola serupa dalam perilaku investor papan atas. JPMorgan Private Bank di Asia, misalnya, secara terang-terangan mengimbau klien untuk menyeimbangkan portofolio dan meningkatkan di versifikasi global setelah sekian lama berat ke aset AS. Bank ini menilai sekaranglah waktu yang tepat untuk mengurangi bias dolar dan memasukkan lebih banyak aset non-AS, termasuk emas sebagai lindung nilai andal terhadap pelemahan dolar. Bahkan JPMorgan mencatat, ketegangan geopolitik belakangan ini membuat emas kian di gemari investor karena reputasinya sebagai penyimpan nilai fisik yang tangguh.

Goldman Sachs pun mengakui pergeseran minat investor kaya terhadap aset digital dan emas. Sebuah survei internal Goldman Sachs pada 2023 menemukan 32% keluarga kaya (family offices) di dunia telah berinvestasi dalam kripto, naik dua kali lipat dari 16% pada 2021. Lonjakan ini mencerminkan appetite baru terhadap aset di luar sistem keuangan konvensional. Goldman juga melihat permintaan tinggi untuk perdagangan derivatif kripto di kalangan kliennya, terutama menjelang potensi persetujuan ETF Bitcoin di AS. Hal senada terjadi di Morgan Stanley. Pejabat bank ini mencatat investor mereka kini lebih berhati-hati dalam mengelola risiko, namun tetap berminat pada peluang di China, emas, dan aset alternatif lainnya.

Tak hanya bank investasi, raksasa manajer aset seperti BlackRock mencatat tren di versifikasi serupa di level global. BlackRock menyoroti bahwa banyak negara mulai mengurangi cadangan dolar dan menambah emas serta bahkan Bitcoin sebagai aset cadangan baru. Ketika institusi besar mengambil langkah di versifikasi, hal ini kian memvalidasi keputusan para investor elit untuk memarkir kekayaan mereka di beragam keranjang. Dunia investasi sedang menyaksikan pergeseran paradigma: dari dollar-centric menuju portofolio multi-aset lintas kawasan.

Kesimpulannya

migrasi aset oleh nasabah kaya dari dolar AS ke kripto, emas, dan saham China bukan sekadar tren sesaat, melainkan cerminan adaptasi terhadap lanskap baru ekonomi global. Ketidakpastian geopolitik dan perang dagang telah mengajarkan para konglomerat pentingnya berjaga-jaga. Dengan mendiversifikasi aset, mereka berupaya mengurangi risiko dan mencari sumber pertumbuhan baru. Dampaknya mulai terasa – dari melemahnya cengkeraman dolar secara perlahan hingga potensi konfigurasi ulang arus modal internasional. Bagi dunia finansial, ini ibarat sinyal bahwa era dominasi tunggal dolar mungkin meredup. Sebagai gantinya, para investor secara kolektif menerapkan strategi baru untuk menyongsong era multipolar dalam investasi. Meskipun begitu, transisi ini kemungkinan berlangsung bertahap. Para elit finansial tampaknya paham betul bahwa menjaga keseimbangan adalah kunci: di versifikasi di lakukan tanpa menimbulkan gejolak mendadak, sehingga stabilitas pasar global tetap terjaga sambil portofolio mereka terlindungi.

Tinggalkan Balasan